Entri Populer

Senin, 26 Desember 2011

Selamatkan heritage dengan pantomim


Harian Jogja, Kamis Pahing (28 Juli 2011)
Selamatkan heritage dengan pantomim

Apriliana Susanti
Wartawan Harian Jogja

Pantomim bagi seorang Wanggi Hoed bukan sekedar seni tanpa kata-kata, namn juga untuk mengkampanyekan sejarah warisan sejarah budaya Indonesia. Dalam program Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia, pria asal Bandung ini mampir di Jogja untuk berpantomim di beberapa ruang publik yang memiliki nilai sejarah. “Selamatkan heritage [warisan budaya] jangan hanya di bibir saja. Kami mencoba berbuat secara nyata untuk menyelamatkan heritage di Indonesia,” ungkapnya usai pertunjukan pantomimnya di depan area Taman Budaya Yogyakarta (TBY) Sabtu (23/7) lalu. Wanggi menuturkan, kesadaran masyarakat Indonesia dalam menjaga dan melestarikan warisan-warisan budaya masih rendah. Hal itu di buktikan dengan banyaknya bangunan-bangunan peninggalan masa lalu yang tak terawat bahkan banyak diantaranya yang di bongkar untuk di bangun gedung-gedung modern. “Selama perjalanan kami menyusuri heritage-heritage di berbagai kota di Indonesia, kami jumpai banyak peninggalan-peninggalan bersejarah yang tidak terawat,” ujarnya. Dalam setiap penampilannya, Wanggi Hoed selaludi temani oleh Irwan Nu’man yang meniup terompet. Mereka berdua tergabung dalam komunitas Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat.

Pertunjukan jalanan
Pada kesempatan lain, Wanggi Hoed tidak hanya berpantomim untuk penyelamatan warisan budaya saja. Bersama beberapa mahasiswa Magister Manajemen Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, mereka menggelar pertunjukan jalanan di Titik Nol Kilometer untuk menggalang dana bagi anak-anak yatim piatu pada Jumat (22/7). “Kami di ajak teman kami [mahasiswa ISI] untuk show di sana. Kebetulan juga acaranya dekat bangunan-bangunan peninggalan sejarah seperti kantor pos besar,” ujarnya. Dalam pertunjukan di kedua tempat itu, aksi Wanggi mendapat sambutan hangat penonton. Umumnya, penonton tertarik melihat pantomim yang jarang mereka lihat di ruang publik. Namun demikian, tidak semua pertunjukan mereka mendapat sambutan hangat. Mereka mengaku kerpakali di kejar-kejar oleh petugas kepolisian karena dianggap menggangu ketertiban umum. Bahkan mereka juga pernah dirampok seusai pentas di Bandung. “Waktu show di Jakarta, kami hampir diusir dan dimasukkan bui oleh polisi dan ketika di Bandung, kami kena perampokan,” ungkap Wanggi. Meskipun kerap menemui berbagai halangan, Wanggi dan Irwan Nu’man tidak menyerah untuk tetap menyuarakan penyelamatan dan pelestarian warisan-warisan budaya Indonesia. Rencananya, Mixi Imajimimetheatre Indonesia akan menyusuri peninggalan-peninggalan bersejarah di Kota Solo pada September mendatang. “Save heritage, semoga bukan hanya di bibir saja! Ini bukan hanya misi kami, tapi misi untuk Indonesia dan dunia,” tegasnya.






Harian Jogja :



Jadi Backpacker untuk Kampanyekan Budaya Indonesia


Harian Pagi “Tribun Jogja”, Kamis Pahing (28 Juli 2011)
_Jadi Backpacker untuk Kampanyekan Budaya Indonesia_
Pernah Diusir Polisi Saat Pentas
Cita-cita mulia tak selalu berjalan mulus, selalu saja ada aral melintang. Itulah yang dialami Wanggi Hoediyatno (23) dan Irwan Nu’man (26), dua orang backpacker yang mengusung misi untuk mengkampanyekan sejarah warisan budaya dan khazanah indonesia melalui pertunjukan seni.
Diawali pertengahan 2010, Wanggi dan Irwan bertekad untuk mengkampanyekan pelestarian seni atau save heritage. Ia berusaha melakukan penyelamatan warisan budaya Indonesia bukan hanya sekedar di bibir saja. Pekan ini, Yogyakarta, tepatnya Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menjadi tempat persinggahan keempat setelah sebelumnya mereka pentas di tiga kota besar, meliputi Jakarta, Bandung dan Tangerang. “Yogyakarta merupakan tempat yang memiliki magnet kuat dalam konstelasi seni budaya yang masih ingin kami gali,” papar mahasiswa STSI Bandung ini. Dalam perjalanannya ke sejumlah kota di Indonesia, Wanggi mengaku pernah diusir dan terancam masuk bui ketika perjalanannya sampai di wilayah Kota Tua Fatahilah, Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada 11 Juni 2011. Waktu itu dirinya bersama seniman, budayawan dan masyarakat setempat sedang terlibat dalam sebuah diskusi seni. Entah kenapa pihak kepolisian dari sektor Kedoya, Jakarta mengusirnya. Kabarnya tempat tersebut merupakan kawasan steril. “Kami sempat dibentak, mereka mengusir kami. Padahal saat itu saya sudah meminta ijin ke lingkungan setempat, tapi mereka tetap saja tidak percaya. Daripada memperbesar masalah, akhirnya kami mengikuti prosedur mereka saja,” papar remaja asal Cirebon ini.
Wanggi juga sempat menjadi korban pemerasan dan perampokan. Saat berdiskusi dengan orang-orang yang menyaksikan pentasnya, datanglah orang yang tak dikenal. Menyadari situasi yang kurang baik, para penonton pun akhirnya pergi satu per satu hingga tinggalah ia sendirian dan kemudian diperas. Pengalaman pahit tersebut, tak membuatnya putus asa. Ia tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan misi Save Heritage . “Nyusur merupakan sebuah investasi bagi kami, ketika ruang-ruang publik yang seyogyanya menjadi konsumsi kecerdasan, ruang hiburan, ruang berbagi, tetapi saat ini difungsikan untuk hal-hal yang berbeda dengan isi kepala kita,” paparnya mantap. Ada harga yang harus mereka bayarkan untuk mewujudkan misinya itu. Tak hanya pikiran dan tenaga, namun mereka juga harus berusaha menghidupi dirinya sendiri selama dalam petualangan gerilya ke berbagai tempat. “Uangnya dari tabungan kami,tapi ada dana-dana cadangan dari teman dan orang tua kami.” Ungkapnya. Meski kerap kesulitan masalah keuangan, mereka dengan tegas tak ingin memanfaatkan pertunjukan tersebut untuk tujuan komersil atau istilahnya untuk mengamen.
Perjalanan yang sudah dimulai sejak 2010 itu bertujuan untuk bersilaturahmi, berbagi, mengenal satu sama lain, menjalin persaudaraan serta mengenang sejarah budaya serta seni Indonesia bahkan dunia. “Kalaupun ada yang memberi uang,saat itu juga kami sumbangkan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan atau yang lebih menderita daripada kami,” tegasnya seraya menceritakan bahwa video pertunjukannya pernah disiarkan di TV kabel di Belgia dan diputar di 25 negara di Eropa. Nyusur History Indonesia merupakan program dari Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang memberi ruang untuk kalangan seni dan non-seni. Mereka mengajak masyarakat Indonesia untuk bersilaturahmi lebih dekat, mengenal, mengenang, melestarikan dan menjaga serta mengkampanyekan sejarah warisan budaya dari Indonesia. Sejak 2010, Wanggi aktif latihan pantomime di halaman depan Gedung Asia Afrika Bandung dan Gedung Bata Putih di jalan Braga. Tempat itu merupakan panggung terbuka yang kerap ia gunakan untuk performing art. (Mona Kriesdinar)

Tribun Jogja :





Save Our Heritage Lewat Pantomime


Save Our Heritage Lewat Pantomime
oleh Nissa Rengganis pada 17 November 2011
Nissa Rengganis
Nyasar Nyusur History Indonesia-bukan cuma mimpi!
Hidup berawal dari mimpi! Barangkali itu kalimat yang sudah usang di telinga kita. Tapi terkadang kata-kata itu sangat ampuh untuk terus menjaga harapan dan mengejar mimpi yang kita miliki. Cuma obrolan basi dan secuil mimpi di sore hari-mengawali  terbentuknya Komunitas Pantomim - digawangi oleh dua mahasiswa STSI Bandung Wanggi Boediardjo (Pantomime) dan Irwan Nu’man (musik-terompet) yang memiliki obsesi menelusuri Indonesia. Bosan di kampus dan malu kalau berani kandang terus. Itulah yang mendorong mereka "nekat" jalan-jalan keliling kota-yang rencana seluruh Indonesia. dan, bukan kota-kota imajiner.
Nyasar Nyusur History Indonesia-begitulah nama perjalanan mereka.  Perjalanan mereka bukan sekedar untuk mencecap gemerlap kota. lebih dari itu. Mereka menyusuri kota-kota dengan membawa pertunjukan pantomime dengan memilih bangunan-bangunan tua menjadi latarnya. Pangung jalanan- itu yang saya tangkap dari konsep perjalanan mereka. Aksi mereka di halaman Balai Kota Cirebon dan Alun-Alun Kejaksan pada 30 Oktober kemarin sama sekali diluar yang saya bayangkan. Sebuah pertunjukan dimana tidak ada panggung megah, tidak ada riuh tepuk tangan penonton-tidak dengan baliho-baliho sponsor perjalanan-atau tiket masuk ke dalam gedung pertunjukan. Jalanan di tiap sudut kota disulap menjadi panggung yang sederhana dengan penampilan pantomime komedi hitam yang ceria ala J-Mack. Simboliasasi sepatu dipilih oleh Wanggi untuk menunjukkan betapa persoalan itu masih banyak dan menyesakkan. Aksi pantomime menjadi lebih hidup dengan suara terompet yang menjadi magnet tersendiri. Nyanyian terompet yang dibawakan Irwan Nu’man bukan sekedar menajdi musik pendamping, melainkan sebagai pengisi dari kekosongan-kekosongan mimik dan gerak pantomime.
Heritage: Bukan Basa-basi
Pantomime dipilih oleh dua mahasiswa STSI ini sebagai media untuk mengkampanyekan heritage. Hal ini bermula dari kegelisahan mereka yang menyaksikan banyaknya bangunan-banguann bersejarah di kota Bandung berganti wajah menjadi bangunan modern seperti factory outlet, café n resto, hotel dan lainnya. Layaknya anak muda yang selalu bergairah-ini pun membuat mereka ingin ambil bagian dalam pelestarian heritage. Sejauh ini, gerakan-gerakan pelestarian hertige di Bandung pun hanya sebatas pada kegiatan formal seperti masuknya dalam tour wisata heritage atau workshop terkait sejarah kebudayaan Indonesia. Namun, kehadiran kelompok-kelompok muda yang ikut dalam kampanye heritage memberi warna segar dengan mengemas beberapa event yang lebih dekat dengan segmen anak muda semisal lomba foto banguann tua, karnaval film, music, karnaval sepeda ontel dan salah satunya pertunjukan pantomime.
Spirit ‘street on the street”  yang dibawa oleh kelompok Pantomime asal Bandung- sudah tampil di lima kota dan seluruhnya memusatkan pada beberapa bangunan tua sebagai bentuk kampanye mereka atas pelestraian bangunan tua. Di Jakarta penampilan mereka di pusatkan pada pelataran kota tua Fatahillah.  Aksi mereka di Bandung berlokasi pada tiga tempat yaitu Gedung Merdeka, Gedung Sate dan Rumah Bata Merah. Sama halnya dengan di Yogyakarta, tanggerang dan Cirebon yang memilih lokasi di pelataran bangunan tua seperti kantor pos besar (Yogya), alun-alun Cirebon dan kali cisadane di Tanggerang. Beberapa lokasi yang dipilih tersebut merupakan salah satu cara mereka untuk ikut ambil bagian dalam pelestarian bangunan-banguan tua di berbagai kota.
Bukan saja upaya pelestarian bangunan tua lewat kampanye heritage-nya, namun kelompok ini juga berusaha melestarikan tradisi pantomime-dimana pantomime sendiri masih kurang popular di Indonesia. Dengan konsep street on the street mereka berharap kehadiran pantomime bisa membuka ruang apresiasi langsung pada penikmatnya. Karena, sejauh ini pantomime hanya hadir dari panggung ke panggung dan gedung ke gedung. Hal ini yang menyebabkan pertunjukan pantomime menjadi ruang yang sunyi.  Gagasan Nyasar Nyusur History Indonesia-membuka ruang-ruang baru bagi penikmat pantomime dan memberi kemungkinan apresiasi yang intents antara pegiat dan penikmat.
Pantomime, terompet, juru foto dan misi heritagenya – bagi saya menjadi hidup karena spirit berproses yang dibawa dari dua lelaki-belum rampung kuliahnya ini. Spirit berkesenian mereka ditunjukkan dari keberaniannya menunda tugas-tugas kuliah, jalan-jalan dengan uang ngepas, dan keberanian menyoal isu-isu global hari ini adalah titik pencapaian atas proses mereka.
Masih banyak yang perlu di pertanggungjawabkan dari perjalanan mereka. semisal seberapa signifikan isu heritage yang mereka bawa-kalau sekedar tampil dengan latar bangunan-banguan tua. alih-alih mereka terjebak dan 'latah' dengan isu global hari ini-salah satunya heritage yang mereka kampanyekan. Tapi, terlepas dari itu- saya kira perjalanan mereka memungkinkan membuka ruang-ruang apresiasi,  silaturahmi, berbagi dan mengamati perkembangan komunitas di tiap kota. Itulah barangkali bentuk investasi mereka- yang jauh lebih mahal dan berharga ketimbang bantuan dana dari para donator atau penjualan tiket pertunjukkan. Sampai tulisan ini selesai, saya salut atas keberanian dan rasa keras kepala mereka untuk tetap berkarya dengan kondisi (keungan) seadanya tapi tidak menjadi apa adanya. Mungkin sprit macam ini yang perlu di adopsi oleh beberapa komunitas di Cirebon. Bravo!
Buat dua sahabat saya: Irwan Nu’man dan Wanggi Boediardjo
Pantomime:Nyasar Nyusur History Indonesia edisi Cirebon 30 Oktober 2011- Halaman Balaikota dan Alun-Alun Kejaksan
*Photograper:
 - Ilman Saputra
 - Muhammad Iqbal

Nyasar Nyusur History Kota Bareng Pantomim



Nyasar Nyusur History Kota Bareng Pantomim
Satugeners · Gan Ridwan · Selasa, 1 November 2011
Bandung (Satugen); Nyasar Nyusur History yang biasa dilakukan Wanggi Hoediyatno Boediardjo di bilangan jalan Bragaweg akan terus dikenang boleh jadi dirindukan oleh masyarakat Bandung. Tapi, ya karena ingin ada sesuatu baru. Wanggi sang empu Pantomim sesuai dengan irama gerakan Pantomim meloncat dari satu kota ke kota lain.  
Kali ini Wanggi Hoediyatno Boediardjo punya oleh-oleh buat Satugeners  semua. Hari minggu lalu kelana Nyasar Nyusur History  Kota dilakukan sang empunya Pantomim di kota Wali Cirebon. Tempat kelahiran sang empu Pantomim ini menarik hati oleh karena kerinduan akan kota serta masyarakatnya yang khas bikin Wanggi kerasan. Apa boleh buat! Tempat kelahiran membuat seseorang merindukan sejati dirinya.
“Cirebon dikenal dengan nama Kota Udang dan Kota Wali,” Ujar Wanggi “Cirebon biasa disebut Caruban Nagari yang punya arti penanda gunung ceremai dan Grage yang punya kesan mendalam yang bermakna sebuah negri yang luas,” Lanjutnya.
Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa. Sang Empu Pantomim nyusur Hall Balaikota dan Alun-Alun Kejaksaan Cirebon dengan gerakan indah melakukan cerita tanpa kata. Ekspresi tiada henti dengan iringan saxophone perform di dua tempat dengan malam yang terang khas Cirebon.
Hmm namanya juga Wanggi sang empu Pantomim harus ada sesuatu yang dibagikan dalam oleh-olehnya. Wanggi ingin mengatakan “Cirebon itu asal katanya dari Caruban, dalam bahasa Jawa; punya arti Campuran. Betapa tidak! Cirebon masyarakatnya sangat pluralis Sunda, Jawa, Tionghoa, danb kombinasi campuran Arab,” Cerita Wanggi.
“Bisa juga sering masyarakat Cirebon mengenal Cirebon Ci yang berarti Cai dan Rebon berarti Udang oleh karena Udang merupakan sumber penghasilan utama bagi masyarakatnya,” Ungkap Wanggi.
Inilah perjalanan tiada henti dari sang empu Pantomim dengan melakukan nyasar Nyusur di kota-kota bersejarah. Wanggi akan terus dikenang dan dirindukan oleh masyarakat setempat oleh karena dia membuat sisi lain kota menjadi menarik dan indah. Moga saja ini menjadi pembelajaran bagi semua masyarakat. Betapa kota adalah ruang publik yang harus kita lestari dan dijaga keindahannya. 

Belajar Pantomim Langsung Dengan Empunya


Belajar Pantomim Langsung Dengan Empunya  

Satugeners · Gan Ridwan · Jumat, 7 Oktober 2011

Bandung (Satugen),- Hmm jadi pantomime dan performance di Bragaweg tiap pekannya merupakan sekian kegiatan Wanggi Hoediyatno Boediardjo mahasiswa STSI jurusan Teater ini telah membaktikan dirinya di jalur seni. Contohnya saja jadi pantomim. Hmm dengan wajah yang dipulas serta gerakan yang lemah gemulai memeragakan segala persoalan yang ada. Pantomim bisa membuat kita lebih peka akan segala persoaloan yang telah ada.
 Ada-ada saja Wanggi dengan pantomime nya selalu menyaji banyak kelucuan di setiap performnya. Betapa tidak! Ia piawai menggerakan, memalingkan dan mengolah kelucuan dengan gerakan tangan yang selalu mencolek setiap orang yang ditemuinya. Wanggi mengaku betapa pantomim adalah seni yang sangat sederhana juga membuat tersenyum orang, Contohnya, “Riana siswi dari SMA Bina Dharma Bandung pernah kena colekan dan kelucuan dari Wanggi saat pesta HUT Konferensi Asia Afrika tahun ini, Wanggi mengajak lalu mengajar Riana bagaimana belajar menjadi pantomim langsung perform saat itu juga ditengah riuhnya pengungjung acara tersebut,” Ungkap Wanggi.
Selain aktif menjadi pantomim Wanggi bersama kawannya mendirikan Mixi Imaji Mime Theatre yang didirikan November 2007 di Jalan Rajamantri Tengah No. 05 Bandung . 
“Komunitas Mixi Imaji Mime Theatre adalah ruang belajar komunal, Satugeners bisa belajar menjadi pantomim sebagai seni pertunjukan. Tak hanya itu teater, tari, Rupa, Musik, Sastera dan Media Rekam menjadi bahan ajar bagi Satuguners semua untuk mengaplikasikan rasa seni dengan pengajar yang handal dibidangnya,” Ujar Wanggi dengan mimik khas nya ala pantomim pada Satugen.
 So, Satugeners semua bagaimana dengan rasa seni kalian. Hmm patut dicoba neh menjadi pantomim belajar langsung dari empunya bersama Wanggi Hoediyatno Boediardjo.  
Satugen © 2011
Sumber :
http://www.satugen.com/about.php?p=home&nid=2154

Kampanye Selamatkan Heritage lewat Pantomim


“Kampanye Selamatkan Heritage lewat Pantomim”
Thursday, 08 September 2011
Harian Seputar Indonesia l SINDO
Muda,kreatif,dan multitalenta,itulah yang menggambarkan sosok Wanggi Hoediyanto Boediarjo. Kiprahnya di seni teater dimulai sejak masih mengenyam pendidikan di SMA Muhamadiyah Cirebon.

“Awalnya saya memang sering main-mainin tubuh yang sering kali dilakukan ketika jam pelajaran sekolah lagi senggang,”ujarnya kepada SINDO. Dari kegemaran itulah sang kepala sekolah kerap mengamati gerak-gerik Wanggi,dan berinisiatif untuk membuat ekstrakurikuler (ekskul) teater.Wanggi pun diminta sekolah untuk menghidupkan seni teater. “Kepala sekolah saya ternyata dulunya adalah seorang penulis naskah, sehingga dia tertarik dan meminta saya memajukan seni teater di sekolah,” kenang Wanggi. Perjalanan pria 23 tahun ini untuk menekuni bidang seni teater semakin kuat setelah dia memutuskan untuk berkuliah di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.

Wanggi aktif bergabung ke berbagai organisasi. Seperti Teater Cassanova, Paguyuban Sapedah Baheula Bandoeng,Komunis Kampus STSI,dan Mixi Imajimimetheatre Indonesia.“Di sini (STSI),saya semakin menyukai pantomim.Seni ini memang merupakan bagian dari teater,”kata pria kelahiran Cirebon,24 Mei 1988,ini. Melalui pantomim, Wanggi memiliki tekad untuk mengampanyekan penyelamatan dan pelestarian heritage, serta warisan budaya Indonesia maupun dunia.Uniknya, dia memiliki cara berbeda,yakni berkampanye menjelajahi Indonesia dengan cara backpacker.

“Ide ini muncul dengan nama nyusur history. Titiknya saya ambil ke kotakota besar Indonesia,mulai dari Bandung,Jakarta, Tangerang,Yogyakarta,dan kota-kota lain yang sudah saya rencanakan,”papar Wanggi. Perjalanan luar kota pertama yang dilakukan Wanggi bersama sahabatnya, Irwan Nu’man,adalah Kota Tangerang.Dengan tas besar di punggungnya dan semangat mengampanyekan heritage,dia menempuh kota tersebut untuk unjuk gigi di Festival Cisadane.“Sekali pertunjukan membuat saya tidak puas,hingga akhirnya saya putuskan untuk bertolak ke Jakarta.Tapi kawan saya, Irwan,memilih untuk pulang ke Bandung,”ungkapnya.

Dengan dana seadanya, Wanggi menempuh Jakarta melalui kereta api.Kota Tua yang dipilihnya.Namun sayang,Wanggi sempat diusir petugas keamanan karena dianggap membuat keributan.Perjalanannya pun berlanjut menuju Taman Ismail Marzuki dengan harapan bertemu dengan seniman-seniman Indonesia. Di sana,pria pehobi bersepeda ini memiliki kesempatan untuk tampil di acara “Bulan Soekarno”yang kebetulan sedang berlangsung. Tanpa persiapan dan hanya berupa keinginan spontan, Wanggi mempersembahkan repetoar berjudul Hadiah Buat Sang Fajar di depan keluarga Soekarno,Ketua MPR RI Taufik Kemas,dan para pejabat lain.

“Untuk pertunjukan ini,saya hanya meminta izin kepada keluarga Soekarno.Alhamdulillah, berkat mereka saya bisa persembahkan hadiah ini,” tambah Wanggi.Lewat pengalaman tersebut,Wanggi menyadari jika hal ini merupakan cambuk baginya untuk tetap berkarya,dan membuka mata Indonesia jika pantomim bisa diterima di _mana saja.

NENI NURAENI
Kota Bandung
Sumber :
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/426013/