Harian Pagi “Tribun Jogja”, Kamis Pahing (28 Juli 2011)
_Jadi Backpacker untuk Kampanyekan Budaya Indonesia_
Pernah Diusir Polisi Saat Pentas
Cita-cita
mulia tak selalu berjalan mulus, selalu saja ada aral melintang. Itulah
yang dialami Wanggi Hoediyatno (23) dan Irwan Nu’man (26), dua orang
backpacker yang mengusung misi untuk mengkampanyekan sejarah warisan
budaya dan khazanah indonesia melalui pertunjukan seni.
Diawali pertengahan 2010, Wanggi dan Irwan bertekad untuk mengkampanyekan pelestarian seni atau save heritage.
Ia berusaha melakukan penyelamatan warisan budaya Indonesia bukan hanya
sekedar di bibir saja. Pekan ini, Yogyakarta, tepatnya Taman Budaya
Yogyakarta (TBY) menjadi tempat persinggahan keempat setelah sebelumnya
mereka pentas di tiga kota besar, meliputi Jakarta, Bandung dan
Tangerang. “Yogyakarta merupakan tempat yang memiliki magnet kuat dalam
konstelasi seni budaya yang masih ingin kami gali,” papar mahasiswa STSI
Bandung ini. Dalam perjalanannya ke sejumlah kota di Indonesia, Wanggi
mengaku pernah diusir dan terancam masuk bui ketika perjalanannya sampai
di wilayah Kota Tua Fatahilah, Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada 11
Juni 2011. Waktu itu dirinya bersama seniman, budayawan dan masyarakat
setempat sedang terlibat dalam sebuah diskusi seni. Entah kenapa pihak
kepolisian dari sektor Kedoya, Jakarta mengusirnya. Kabarnya tempat
tersebut merupakan kawasan steril. “Kami sempat dibentak, mereka
mengusir kami. Padahal saat itu saya sudah meminta ijin ke lingkungan
setempat, tapi mereka tetap saja tidak percaya. Daripada memperbesar
masalah, akhirnya kami mengikuti prosedur mereka saja,” papar remaja
asal Cirebon ini.
Wanggi
juga sempat menjadi korban pemerasan dan perampokan. Saat berdiskusi
dengan orang-orang yang menyaksikan pentasnya, datanglah orang yang tak
dikenal. Menyadari situasi yang kurang baik, para penonton pun akhirnya
pergi satu per satu hingga tinggalah ia sendirian dan kemudian diperas.
Pengalaman pahit tersebut, tak membuatnya putus asa. Ia tetap pada
pendiriannya untuk melanjutkan misi Save Heritage . “Nyusur
merupakan sebuah investasi bagi kami, ketika ruang-ruang publik yang
seyogyanya menjadi konsumsi kecerdasan, ruang hiburan, ruang berbagi,
tetapi saat ini difungsikan untuk hal-hal yang berbeda dengan isi kepala
kita,” paparnya mantap. Ada harga yang harus mereka bayarkan untuk
mewujudkan misinya itu. Tak hanya pikiran dan tenaga, namun mereka juga
harus berusaha menghidupi dirinya sendiri selama dalam petualangan
gerilya ke berbagai tempat. “Uangnya dari tabungan kami,tapi ada
dana-dana cadangan dari teman dan orang tua kami.” Ungkapnya. Meski
kerap kesulitan masalah keuangan, mereka dengan tegas tak ingin
memanfaatkan pertunjukan tersebut untuk tujuan komersil atau istilahnya
untuk mengamen.
Perjalanan
yang sudah dimulai sejak 2010 itu bertujuan untuk bersilaturahmi,
berbagi, mengenal satu sama lain, menjalin persaudaraan serta mengenang
sejarah budaya serta seni Indonesia bahkan dunia. “Kalaupun ada yang
memberi uang,saat itu juga kami sumbangkan kepada masyarakat yang lebih
membutuhkan atau yang lebih menderita daripada kami,” tegasnya seraya
menceritakan bahwa video pertunjukannya pernah disiarkan di TV kabel di
Belgia dan diputar di 25 negara di Eropa. Nyusur History Indonesia merupakan
program dari Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang memberi ruang untuk
kalangan seni dan non-seni. Mereka mengajak masyarakat Indonesia untuk
bersilaturahmi lebih dekat, mengenal, mengenang, melestarikan dan
menjaga serta mengkampanyekan sejarah warisan budaya dari Indonesia.
Sejak 2010, Wanggi aktif latihan pantomime di halaman depan Gedung Asia
Afrika Bandung dan Gedung Bata Putih di jalan Braga. Tempat itu
merupakan panggung terbuka yang kerap ia gunakan untuk performing art. (Mona Kriesdinar)
Tribun Jogja :
Tribun Jogja :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar